16 Maret 2009
Pukul 04.30 kami berdua sudah bangun dan menuju masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Sepulang dari masjid serasa pulang di rumah sendiri. Ibu sangat perhatian. Begitu pulang, sudah ada cokalt hangat dan cemilan lain. Kata Ibu, cokla tersebut merupakan hasil kebun sendiri. Udah gitu, dipersilakan nonton televisi lagi. Baik gag tuh? Kami berdua nonton Sport7 hingga usai.
Setelah puas, kami berdua menanyakan kepada Bapak, kapan kami bisa mulai ikut bekerja. Ternyata, kami tak diperbolehkan. Kami diminta Bapak untuk bekerja di pabrik minyak cengkeh saja bersama Mas Madhan. Mas Madhan mempunyai seorang asisten yaitu Mas Taufik.
Kami mengunakan truk pribadi untuk menuju ke pabrik. Selama peralanan, kami berempat berbincang-bincang tentang sekolahku dan Abie. Ternyata, gag di sekolah, gag di tempat Live In, semuanya mesum. Tanya-tanya cewe melulu dan guyonan mesum gag jelas. Untung si Redi dan Gunung gag gabung sekalian. Kacau! Mesum Bersatu?
Setibanya di pabrik, kami turun mengecek persediaan daun cengkeh. Karena stok tipis, kami pergi menuju ke tempat penadah daun cengkeh. Pak Sukadi memperkerjakan dua belas orang pengumpul daun cengkeh kering di kebunnya. Jadi, Mas Madhan tak perlu memanen sendiri daun cengkehnya. Tinggal mengambil di penadah. Hari itu kami mengunjungi empat orang penadah. Menurut Mas Madhan, diperlukan dana sekitar Rp 400.000,00 untuk memnuhi truk dengan daun cengkeh kering. Dana itu sudah termasuk dana makan dan solar. Sementara setalah diolah, daun cengkeh satu truk bisa menjadi 15 kg minyak cengkeh yang kemudian dijual dengan harga Rp 60.000,00 per kg. Minyak cengkeh itu didistribusikan ke daerah Surabaya dan sekitarnya. Menurut Mas Madhan, keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 250.000,00 tiap harinya. Lelah juga kerja seharian mengisi truk dengan daun cengkeh kering. Karena sudah lelah, kami ijin tidak ikut proses pengolahan daun menjadi minyak.
Tutur Bapak, butuh waktu sekitar tujuh hingga delapan jam untuk proses pembuatan minyak cengkeh itu. Menurut beliau juga, dibutuhkan modal Rp 25.000.000,00 untuk mendirikan pabrik pengolahan minyak itu dahulu. Di pabrik pengolahan tersebut, Pak Sukadi mempunyai tiga buah tungku penyulingan raksasa. Subhanallah! Di desa ada yang sampai sesukses ini!
Lelah bekerja kami berdua makan siang di rumah. Berlaukkan ikan goreng dan sayur sawi kami berdua kenyang. Menu yang disajikan Ibu selalu tak pernah mengecewakan kami. Setelah makan kami mencuci dan mengeringkan sendiri peralatan makan kami. Selain itu, kami juga tak hanya bersantai-santai di sana. Kami juga membantu pekerjaan rumah seperti menyapu.
Saat akan membuang sampah hasil menyapu, Aku bingung. Tak ada tempat sampah di sana. Tutur Ibu, sampah biasanya langsung dibakar.
Seusai makan siang, kami berdua menuju masjid untuk melaksanakan solat duhur berjamaah. Selanjutnya, Aku dan Gunung mampir ke rumah Heri untuk silaturahmi. Di sana Aku dan Gunung disuguhi sepiring pohong goreng. Alhamdulillah. Seperti biasa, jika kami kumpul selalu berduel. Aku duel melawan Gunung. Sial! Di tengah serunya duel, Pak Ikhwan datang. Hampir saja deck milik kami disita. Sebelumnya, deck milik teman kami Alvin dan Billal juga disita Pak Rosikin setelah kepergok duel di mushola. Untungnya, Aku berhasil mengalihkan perhatian Pak Ikhwan dengan cerita mengenai rumah orang tua asuhku. Pak Ikhwan lupa dengan duel kami. Deck kamipun selamat. Huh!
Sore harinya , sekitar pukul 14.30, Aku, Heri dan Gunung mengumpulkan personil untuk bermain sepak bola. Di lapangan, The Chalenggers ternyata sudah ada. Kami bermain selama satu jam lebih. Melawan 18 pemain dengan 9 pemain di lapangan berlumpur ternyata tak semudah yang kami bayangkan. Walaupun 18 anak itu notabene anak SD, skill mereka berada di atas rata-rata untuk ukuran anak seusia itu. Kami hampir saja dipermalukan 3-0. Untung, kami cepat beradaptasi den pulang dengan kemenangan dramatis 5-4. Lumayan, sore itu kucetak satu gol saat kami tertinggal 2-3. Seusai bertanding, kami berfoto bersama squad junior Desa Pakisan itu. Pulang pukul 16.00 dengan keadaan kotor dan belum solat asar, Aku dan Abie datang terlambat ke acara sharing.
Malam harinya, Aku dan Abie berbincang-bincang bersama Bapak dan Ibu Sukadi. Bapak dan Ibu bercerita mengenai kebun dan sawah mereka. Tutur mereka, persediaan pangan mereka selau lebih dari cukup. Bapak dan Ibu tak pernah belanja untuk memnuhi kebutuhan pangan mereka. Bahkan, mereka punya lemari penyimpanan padi dan jagung yang dapat menjamin kebutuhan pangan keluarga hingga tiga bulan ke depan. Setelah merasa cukup mengantuk, Aku pamit untuk tidur. Selama berbincang-bincang dengan Bapak dan Ibu , Abie hanya diam. Dia diam karena menurutnya, dia tidak dapat berbicara menggunkan Bahasa Jawa yang baik dan benar.
Sunday, April 12, 2009
My Live In Diary 1st day
15 Maret 2009
Pagi itu pukul 06.15. Aku sudah berangkat menuju ke sekolah diantar bapakku. Sesampainya di sekolah, upacara persiapan keberangkatan dilaksanakan. Namun, Aku, Ari, Gunung duduk menunggu di dalam bus tidak mengikuti upacara. Aku berduel kartu Yugi Oh melawan Ari dan Gunung. Di dua duel itu pula deck milikku tumbang.
Sekitar pukul 07.15 bus berangkat meninggalkan sekolah. Perjalanan menuju tempat tujuan selama dua jam diisi dengan menyanyikan lagu-lagu anime sebangsa digimon, doraemon, crayon shinchan dkk. Bus yang kami naiki bisa dibilang eksklusif. Ber-AC, Jon!
Sebelum ke tempat tujuan, bus mampir ke kantor kecamatan Patean untuk mendengarkan pidato sambutan dari Pak Camat. Kami tiba di kantor Kecamatan pada pukul 11.45. Sayangnya kami harus menunggu lama. Pak Camat datang terlambat. Diduga Pak Camat nonton Naruto sehingga beliau datang terlambat ke upacara sambutan. Hhe. Seperti sebelumnya, saat upacara dimulaipun Aku dan Gunung tidak mengikuti upacara sambutan dari Pak Camat. Lagi-lagi kami berduel di dalam bus. Dendamku terbalaskan. Kali ini deck milik Gunung tumbang dengan cepat. Setelah lelah berduel, kami berdua makan di sebuah warteg yang terletak tak jauh dari tempat parkir bus. Perjalanan kembali dilanjutkan seusai upacara.
Pada pukul 11.30 bus kami sudah tiba di Kantor Desa Pakisan. Di desa tersebut, kelasku tinggal bersam kelas Sepuluh-Akselerasi dan Sebelas-Susulan.
Begitu sambutan Kepala Desa Pakisan usai, kami langsung dipertemukan dengan orang tua asuh kami. Aku tinggal bersama murid kelas sepuluh akselerasi yaitu Abie. Kami tinggal bersama Bapak Sukadi yang tak lain tak bukan adalah ayah dari Pak Kades Pakisan. Bapak Sukadi lahir pada tahun 1952. Bermodalkan lulus SD, beliau terhitung sebagai orang yang sukses. Bapak Sukadi memiliki 3 rumah, satu hektar sawah, sebuah kebun jambu dan sebuah pabrik pengolahan minyak cengkeh. Bapak Sukadi berpenghasilan rata-rata empat puluh juta rupiah setiap tiga bulan. Bapak Sukadi memiliki dua irang putra. Putra Sulungnya merupakan Kades Pakisan yaitu Bapak ... dan anak bungsunya bernama Madhan yang berkeja di pabrik pengolahan minyak cengkeh. Di rumahnya, Pak Sukadi tinggal bersama istrinya dan anak bungsunya. Sepertinya, live in kali ini tak akan terasa sulit.
Kami berjalan sejauh 1km jalan menanjak untuk menuju ke kediaman Bapak Sukadi. Desa Pakisan terletak di daerah dataran tinggi. Perjalanan terasa berat dan melelahkan, sepanjang 1km jalan menanjak ditambah membawa tas maha berat. Sebenarnya Bapak Sukadi menawarkan dirinya untuk membantu kami, namun kami menolaknya.
Begitu sampai di rumah, seisi rumah menyambut kami dengan ramah. Dugaanku tentang live in ini tak akan sulit sepertinya benar adanya. Rumah tempat tinggal Bapak Sukadi sudah dikeramik. Bangunannya baik dan lebih dari cukup bagiku. Sudah ada televisi, sepeda motor, mobil, dan truk Banyak kesan positif yang timbul di awal kedatanganku.
Kesan negatif pertama yang muncul dariku adalah ketika Aku akan mandi. Gila! Kamar mandinya tanpa pintu! Sepertinya gag perlu kuceritain panjang lebar deh. Takutnya menimbulkan pikiran yang kotor, aneh, dan nggak-nggak. Kesan negatif kedua yaitu kamarnya gelap, Cuk! Tanpa lampu, tanpa jendela! Gimana Aku bisa nulis diary di kegelapan? Sore hari, Aku berkumpul bersama teman-teman di sebuah mushola kecil untuk sharing. Hari ini diakhiri dengan terpejamnya matakau saat jam menunjukkan pukul 21.30.
Pagi itu pukul 06.15. Aku sudah berangkat menuju ke sekolah diantar bapakku. Sesampainya di sekolah, upacara persiapan keberangkatan dilaksanakan. Namun, Aku, Ari, Gunung duduk menunggu di dalam bus tidak mengikuti upacara. Aku berduel kartu Yugi Oh melawan Ari dan Gunung. Di dua duel itu pula deck milikku tumbang.
Sekitar pukul 07.15 bus berangkat meninggalkan sekolah. Perjalanan menuju tempat tujuan selama dua jam diisi dengan menyanyikan lagu-lagu anime sebangsa digimon, doraemon, crayon shinchan dkk. Bus yang kami naiki bisa dibilang eksklusif. Ber-AC, Jon!
Sebelum ke tempat tujuan, bus mampir ke kantor kecamatan Patean untuk mendengarkan pidato sambutan dari Pak Camat. Kami tiba di kantor Kecamatan pada pukul 11.45. Sayangnya kami harus menunggu lama. Pak Camat datang terlambat. Diduga Pak Camat nonton Naruto sehingga beliau datang terlambat ke upacara sambutan. Hhe. Seperti sebelumnya, saat upacara dimulaipun Aku dan Gunung tidak mengikuti upacara sambutan dari Pak Camat. Lagi-lagi kami berduel di dalam bus. Dendamku terbalaskan. Kali ini deck milik Gunung tumbang dengan cepat. Setelah lelah berduel, kami berdua makan di sebuah warteg yang terletak tak jauh dari tempat parkir bus. Perjalanan kembali dilanjutkan seusai upacara.
Pada pukul 11.30 bus kami sudah tiba di Kantor Desa Pakisan. Di desa tersebut, kelasku tinggal bersam kelas Sepuluh-Akselerasi dan Sebelas-Susulan.
Begitu sambutan Kepala Desa Pakisan usai, kami langsung dipertemukan dengan orang tua asuh kami. Aku tinggal bersama murid kelas sepuluh akselerasi yaitu Abie. Kami tinggal bersama Bapak Sukadi yang tak lain tak bukan adalah ayah dari Pak Kades Pakisan. Bapak Sukadi lahir pada tahun 1952. Bermodalkan lulus SD, beliau terhitung sebagai orang yang sukses. Bapak Sukadi memiliki 3 rumah, satu hektar sawah, sebuah kebun jambu dan sebuah pabrik pengolahan minyak cengkeh. Bapak Sukadi berpenghasilan rata-rata empat puluh juta rupiah setiap tiga bulan. Bapak Sukadi memiliki dua irang putra. Putra Sulungnya merupakan Kades Pakisan yaitu Bapak ... dan anak bungsunya bernama Madhan yang berkeja di pabrik pengolahan minyak cengkeh. Di rumahnya, Pak Sukadi tinggal bersama istrinya dan anak bungsunya. Sepertinya, live in kali ini tak akan terasa sulit.
Kami berjalan sejauh 1km jalan menanjak untuk menuju ke kediaman Bapak Sukadi. Desa Pakisan terletak di daerah dataran tinggi. Perjalanan terasa berat dan melelahkan, sepanjang 1km jalan menanjak ditambah membawa tas maha berat. Sebenarnya Bapak Sukadi menawarkan dirinya untuk membantu kami, namun kami menolaknya.
Begitu sampai di rumah, seisi rumah menyambut kami dengan ramah. Dugaanku tentang live in ini tak akan sulit sepertinya benar adanya. Rumah tempat tinggal Bapak Sukadi sudah dikeramik. Bangunannya baik dan lebih dari cukup bagiku. Sudah ada televisi, sepeda motor, mobil, dan truk Banyak kesan positif yang timbul di awal kedatanganku.
Kesan negatif pertama yang muncul dariku adalah ketika Aku akan mandi. Gila! Kamar mandinya tanpa pintu! Sepertinya gag perlu kuceritain panjang lebar deh. Takutnya menimbulkan pikiran yang kotor, aneh, dan nggak-nggak. Kesan negatif kedua yaitu kamarnya gelap, Cuk! Tanpa lampu, tanpa jendela! Gimana Aku bisa nulis diary di kegelapan? Sore hari, Aku berkumpul bersama teman-teman di sebuah mushola kecil untuk sharing. Hari ini diakhiri dengan terpejamnya matakau saat jam menunjukkan pukul 21.30.
Subscribe to:
Posts (Atom)