Thursday, October 27, 2011

Haji itu Undangan dari Allah SWT

Alhamdulillah. Bulan ini kedua orang tuaku, mbah putri, dan budheku memantapkan niatnya untuk pergi haji dengan mendaftarkan diri ke Departemen Agama Kota Semarang. Memang, di setiap kebaikan tak mesti akan menemui jalan mudah. Ya, di sini halangan muncul.

Halangan itu bukan masalah niat karena niat mereka sudah mantab, bukan juga dana yang alhamdulillah juga sudah disiapkan. Apa? Ya, kalian pasti tahu. Di negeri ini, untuk beribadah sekalipun harus antre. Tak tanggung-tanggung, 7tahun. Mereka harus menunggu keberangkatan hajinya hingga 2018 mendatang.
Bukan masalah berarti bagi orangtua atau budheku. Mbah putriku sedikit tidak yakin. Kita memang tidak tahu hingga kapan Sang Maha Pencipta mengijinkan untuk hidup. Namun, secara logika, berhubung sudah uzur dan harus menunggu 7tahun lagi tentu akan membuat GALAU. Anak muda yang nunggu temen ato pacar lebih dari 1jam saja bisa galau. Apalagi orang tua?

Sempat terpikir di benak mbah putriku untuk batal haji saja dan pindah ke umroh yang tak butuh antre karena notabene ini memang hanyalah sebuah "perjalanan wisata" bernilai religi. Tetap saja, kalo hati sudah mantab untuk haji, tetep aja ada yang gak srek di hati kalo ganti ke umroh.

Alhamdulillah, ada pak ustadz yang akhirnya ngasih wejangan. "Haji itu undangan dari Allah. Bagaimanapun keadaan seorang hamba saat ini kalo dapet undangan insyaallah pasti berangkat. Apabila sudah diniati dan mendaftar haji namun umur berkata lain, kita sudah dihitung menjalankan haji. Niat baik sudah dicatat malaikat sebagai amal sekalipun belum terlaksana."

SUBHANALLAH
Buat temen2 yang orangtua ato kakek neneknya ragu untuk naik haji karena masalah umur, yakinkanlah mereka! :)

Saturday, September 10, 2011

Refleksi Jenesys 2010 part 3

Bismilah. Alhamdulillah bisa ngelanjutin. Oh iya, mengingatkan saja. Ini bukan refleksi program secara keseluruhan, melainkan hanyalah apa yang aku rasakan di sana yang sekiranya bisa memotivasi diri kita untuk mengambil nilai positif dari mereka.
Setelah disiplin dan apresiatif, poin kali ini The Last but not Least is kepedulian. Ya, mereka begitu peduli. Peduli kepada diri mereka sendiri, anak cucu mereka dengan cara yang super, peduli kepada lingkungan. Ini adalah hasil kesimpulanku sendiri. merka tak pernah bilang demikian. Dari yang aku amati, di Jepang, dia sangat terkenal. Wuaaa #Koaranomachi #abaikan. Di Jepang, mereka benar2 sadar untuk tidak menggunakan kantong plastik untuk belanja. Mereka membawa tas sendiri dari rumah untuk belanja ketimbang memakai tas kresek yang toko sediakan, karena mereka tahu plastik sulit diuraikan oleh tanah.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalo pengamatanku ke tetangga2 sih, masih parah. Banyak yang masih pake kresek. Ampuun! Bukan maksudnya ngomongin keburukan kalian. Tapi, dari pada aku bilang Indonesia, malaah bisa dianggep fitnah. kan gak semuanya gitu. Oh iya, ntar malem halal bihalal. Minta maaf sekalian, habis ngrasani kalian di blog, hehe.
Lanjut. Itu baru salah satu contoh yang aku amati. Yang lainnya, apa ya? Oh iya, kecenderungan untuk memakai sepeda dan transportasi umum untuk kemana saja. Ada satu yang bikin aku salut, terutama keluargaku di sana. prinsip mereka, "Kami tidak akan pergi menggunakan mobil pribadi kecuali mobil ini penuh oleh anggota keluarga kami." Subhanallah! Mereka benar2 berpikir maju ke depan, tidak egois. Bapak bilang, "Jika semua orang berpikir begini, maka polusi udara dapat diminimalisir seefektif mungkin." Dan itu benar2 demikian. Jika saja mereka egois untuk kepentingan uang dan waktu mereka, pasti setiap orang Jepang mungkin seperti orang-orang Indonesia yang contohnya dulu adalah aku. Sekarang agak berubah, hehe. "Ngapain naik angkot yang bakal keluar duit lebih banyak dan butuh lebih banyak waktu kalo bisa naik motor?"
Itulah egoisnya aku dulu. Gak mikirin persediaan minyak dunia dan dalam negeri, polusi udara, dan kemacetan. penting cepet dan murah. Alangkah indahnya negeri ini jika setiap orang2 Indonesia bisa berpikir seperti orang2 Jepang yang maju ke depan, peduli dan tidak egois. Minimal, aku harap temen2 dan keluargaku deh, gak dikit2 naik motor atau mobil ke mall, pasar atau tmpat lain. Jika jawaban kalian adalah waktu, maka aku jawab balik dengan budaya!
Tidak sepenuhnya kita harus menyalahkan diri sendiri atas keegoisan diri kita. pemerintah harusnya juga mendukung dengan setidaknya memberi transportasi umum yang layak dan tepat waktu bagi khalayak umum. Tapi, kapan kita maju kalo nunggu pemerintah? ayo mulai dari diri sendiri. Caranya? Kembali ke budaya.
Kebiasaan. Ya, jika kita bisa membiasakan diri dan bangun lebih awal, maka menggunakan public transport bukanlah suatu masalah. Jangan kira hal kecil yang kita lakukan ini  gak ada pengaruhnya untuk negeri ini. Berkontribusilah untuk negeri ini walau sekecil apapun dan namamu bahkan tak dikenang orang sebagai orang yang pernah berkontribusi.
Bagaimana dengan diriku sendiri? Sudah mampukah diri ini peduli kepada diri sendiri, keluarga, dan lingkungan? hmm
kalo kamu?