Marhaban Yaa
Ramadhan. Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu kembali dengan bulan suci
nan penuh berkah ini lagi. Sebenarnya cukup telat sih bilang selamat datang
untuk Ramadhan mengingat udah hamper seperempat perjalanan. Hehe. But, still
better late than nothing at all. Alhamdulillah pula karena akhirnya aku sadar
kalau blog ini sudah cukup lama tak terurus. Oke, mumpung masih bulan ramadhan,
aku pengen bahas dikit mengenai isu hangat tentang ramadhan. Tepatnya bukan
pembahasan sih, melainkan hanya pandangan personal semata. Boleh kan? Ini blog,
blogku juga. Terserah dong, mau diisi apa. Ya gak? Haha. Yang penting masih
banyak manfaat dari pada mudharatnya. Insyaallah.
Okay, hal yang
pengen aku certain ke kalian pada pos perdana di bulan ramadhan ini adalah
Penentuan Awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia. Yup, isu ini masih
anget-anget tai ayam di pikiran kita. Tapi jangan dibayangkan kalo dalam
pikiran kita ada tai ayam yang anget. Ini hanya kiasan semata, bung. Haha. Oke,
kembali ke topik. Kalian ngerasa ada yang aneh dengan negara ini gak, kawan?
Pasti iya. Sosial, ekonomi, bahkan termasuk urusan religi macam ini. Masa sampe
awal ramadhan dan syawal aja diperdebatkan? Masih banyak hal penting yang bisa
dibahas bareng untuk dicarikan solusi masalahnya wahai Bapak Ibu Pejabat. Bukan
untuk memanas-manasi antara satu kaum dengan kaum lain yang berbeda pendapat
mengenai awal ramadhan dan syawal sih. Sekali lagi ini hanya pendapat seorang
konyol yang sedang belajar menyampaikan pendapat.
Oke, sebelum
ke pendapat-pendapat liarku, tak kasih prolog dikit dulu lah tentang
metode-metode penentuan awal awal ramadhan, syawal ataupun bulan hijriah yang
lain. Dapetnya dari tipi, baca koran dan beberapa literature lain. Mungkin kalian juga sedikit banyak udah tau.
Yup, metode yang lazim dipake adalah Hisab dan Rukyat. Bedanya apa? Kalo metode
hisab itu menggunakan penghitungan matematika dan fisika langit atau yang lebih
dikenal sebagai astronomi atau ilmu falaq. Sementara kalo rukyat itu pake
pengamatan. Aku gak akan bahas panjang lebar perbedaan penggunaan metode-metode
itu. Tanya mbah google kan bisa. Hehe. Yang pengen tak bahas, kembali, adalah
Awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia. Bukan penentuannya deng, tapi
lucunya aja deh. Kalo kalian gak ngakak atau merasa garing setelah baca pos
ini, kalian anggep judulnya “Anehnya” aja juga boleh kok.
Oke lagi, oke
lagi, ngalor ngidul tak jelas juntrungannya ini pos. Kali ini, beneran ini dia
lucunya negara kita dalam menentukan awal ramadhan dan syawal :
1. Ngapa
gak pake hisab aja?
Gini
lho, biasanya penentuan imsak, waktu solat, kapan bakal terjadi gerhana
matahari atau gerhana bulan itu pasti pake metode hisab yang diitung-itung pake
rumus ini rumus itu. Hasilnya? Akurat! Belum pernah ada selisih hasil hitung
sampai menit, jam, bahkan hari kan? Gak pernah didebatkan kan?
Bukannya
aku menyudutkan atau menyalahkan pemerintah yang lebih seneng nawang rembulan
(re: mengamati bulan) atau istilah nge-topnya pake metode rukyat. Bagus sih,
sekalian belajar cara makai teropong yang benar sekaligus semakin bersyukur dan
menyadarkan betapa hebatnya ciptaan-Nya yakni mata kita. Ciptaan manusia berupa
teropong hanyalah alat bantu. Alat utama dalam nawang rembulan adalah mata.
Teropongnya keren, matanya gangguan, percuma kan? Nah to, sadar gak kalian kalo
paragraph ini kembali muter2? Haha
Kembali
ke topik. Yang aku sesalkan dari penggunaan metode ini di Negara kita ini
adalah tidak adanya kepercayaan pada pengamat. Setauku, di jaman rasul, kalo
ada sahabat yang sudah melihat hilal, dia disumpah, maka malam itu tarawih dan
keesokan harinya umat muslim melaksanakan puasa. Di Negara kita? Pengamatan dilakukan
di berbagai tempat. Yang liat disumpah. Cuman, anehnya keputusan diambil dengan
membandingkan mana yang lebih banyak, yang liat ato gak liat -__-“.
2. Ngapa
mesti ada sidang isbat?
Mau
dibilang sebagai ajang praktek demokrasi boleh dah. Tapi ini agama, bung.
Seharusnya bukan untuk bahan tawar menawar. Semuanya fix. Ada aturan dan
pedomannya. Ya gak? Contoh aja nih, kalo pemerintah salah menentukan hari raya
yang harusnya jatuh hari ini tapi diputuskan besok, kacau kan? Berarti yang
puasa kan sama aja puasa di hari raya yang artinya puasanya haram. Kasian juga
kan pemimpin sidang isbatnya kalo ntar dimintai pertanggung jawaban di akherat
atas kesalahan dosa umat.
Negara
di barat yang notabene lebih canggih teknologi dan sainsnya (semoga sementara
saja deh, kapan Indonesia bangkit? Ayo, kita bisa!) pasti juga melakukan
perhitungan dan pengamatan yang mantap untuk menentukan awal Ramadhan atau Hari
Raya. Kenapa aku ambil contoh Negara di Barat? Karena kita ada di Timur mereka.
Lha so? Kenapa woyy?
Gini
lho, logika simple aja deh. Matahari terbit di timur yang berarti Negara-negara
di wilayah timur memulai hari-harinya lebih awal dibanding Negara-negara Barat.
Nah, kalo kita liat Negara barat macam Arab, Jerman bahkan Spanyol (untuk tahun
ini) menentukan awal Ramadhan jatuh pada hari Jumat. Kenapa kita ambil Sabtu?
Sadar, bos! Kita di timur mereka. Haha
Satu
lagi yang jelas. Sidang isbat kan butuh anggaran gede. Buat akomodasi dan
konsumsi seluruh pejabat dan petinggi ormas yang hadir. Kan lebih bagus kalo disimpan,
disodaqohkan atau gimana kek. Hehe
Sekali
lagi, ini hanya ocehan bocah semata. Kalo analisisku gak masuk dan gak nunjukin
kalo Negara kita aneh, mungkin penulisnya yang aneh. Yaa, umat Islam tetaplah
satu. Kita memang boleh berbeda-beda. Namun kita semua ini ibarat bangunan
besar yang memang tersusun atas material yang berbeda-beda namun saling
menguatkan.
Semoga
gak nyesel deh buang-buang sekitar 5-10 menit baca pos ini. HeheKalo ada
salahnya yaa penulis juga manusia, sewarnya mohon maaf yang sedalam-dalamnya.
Wassalamu ‘alaykum Wr. Wb. Berasa pidato deh :p
No comments:
Post a Comment