Sunday, April 12, 2009

Live In Diary 3rd day

17 Maret 2009

Hari ini diawali dengan bincang-bincang dengan Bapak dan Ibu di dapur. Saat kami sedang berbincang-bincang, seorang lelaki aneh datang. Tanpa memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, tiba-tiba dia memotong pembicaraan kami dengan menceritakan kehidupan masa lalunya. Siapa peduli? Namun ceritanya seperti ini, dia bilang dia pernah tinggal di Semarang selama tiga tahun. Selama tiga tahun, dia bekerja di Pasar Bulu dan Pelabuhan Tanjung Mas sebagai buruh angkut. Dia mengaku dia tahu letak SMA 3 Semarang. Entah tahu atau sok tahu sih. Tanpa salam pula dia tinggalkan kami begitu saja. Kata Bapak dia memang orang gila di daerah itu.
Kami kembali ke perbincangan awal. Karena orang aneh tadi, Bapak juga teringat masa lalunya di Semarang. Bapak juga bercerita bahwa dia juga pernah bekerja sebagai tukang parkir di Semarang. Tutur Bapak, dahulu hanya perlu Rp 1.000,00 untuk sekali naik angkot dari Kendal ke Semarang. Kini, dibutuhkan lebih dari Rp 15.000,00 untuk menuju Semarang dari Kendal.
Setelah itu, kami bersiap pergi menuju kebun jambu untuk membungkus dan memanen bila sudah ada yang masak. Sebelum ke kebun jambu, saat masih di halaman rumah, tiba-tiba Bapak berkata, ”Sampun sepuh kados punika, kula takseh saget guyon lho!” ??!!?? Bapak meminta kami untuk memanjat pohon cengkeh yang ada di halaman rumah. Saya kira, diminta untuk memetik. Ternyata, hanya untuk difoto. Kata Bapak biar laporannya nanti bagus harus ada foto-fotonya rak ketang ngapusi.
Di perjalanan menuju ke kebun jambu, kami bertemu dengan Ari. Dia bilang dia lagi gag da kerjaan. Dia mohon pada Bapak agar diijinkan ikut bekerja.
Di kebun jambu, kami membungkusi jambu dengan kantung plastik. Tujuannya adalah mencegah tanaman jambu terinfeksi virus-virus berbahaya. Jambu sendiri memiliki khasiat sebagai penurun tekanan darah tinggi. Haduh, tekanan darahku aja udah rendah. Ngapain Aku makan ni jambu kemarin? Di kebun, lagi-lagi kami mengambil beberapa gambar sebagai dokumentasi dan kenang-kenangan.
Bapak juga mengajarkan kepada kami teknik okulasi. Okulasi adalah salah satu teknik menanam tanaman secara vegetatif buatan dengan cara menempelkan dua tunas lalu keduanya diikat. Tunas bagian bawh biasanya merupakan tunas yang berakar kuat sementara yang di atas biasanya tunas yang berbuah bagus.
Dari kebun, kami melanjutkan perjalanan ke pabrik pengolahan minyak cengkeh. Minyak cengkeh dapat digunakan sebagai minyak telon bayi dan remason. Bahkan, minyak cengkeh bisa digunakan sebagai obat sakit gigi dengan cara meneteskan minyak cengkeh ke sehelai kapas lalu menempelkan kapas tersebut ke bagian gigi yang terasa ngilu.
Sebelumnya, saat di kebun kami juga dijelaskan obat sakit gigi tradisional lain yaitu dengan terong bundar. Terong bundar itu dibakar, kemudian asapnya diambil dengan cara dimasukkan ke dalam pipa dari bambu lalu asp itu ditiupkan ke dalam mulut.
Hari ini, ada kejadian unik yaitu saat Aku dan Abie makan pagi. Saat makan, tiba-tiba terdengar lagu Kangen Band seolah-olah lagu itu mengiringi makan pagi kami. Dua lagu selesai dinyanyikan hingga kami selesai makan pagi. Lagu itu adalah Bintang 14 Hari dan Kekasih Yang Hilang. Haduh, sepertinya ada hal yang tidak mengenakkan akan terjadi. Ternyata benar, seusai makan Pak Kadi menanyakan suatu hal yang tidak terduga. Pak Kadi berkata, ”Kula sawang-sawang kok sampeyan dereng pernah eek babar pisan nggeh? Menawi kebelet matur mawon, mangkeh Bapak terke!”
Dalam hatiku aku berbisik,”Ketahuan ikh! Tiga hari tanpa BAB!” Sebenarnya bukan itu masalahnya. Aku takut Pak Kadi tersinggung. Mungkin Beliau pikir kami merasa jijik harus BAB di sana setelah kami melihat kamar mandi di rumah tempat tinggal Pak Kadi. Padahal ya ada rasa itu sedikit. Hhe.
Sore hari, seperti hari sebelumnya Aku dan taman-temanku bermain sepak bola. Kali ini yang ikut ke lapangan sepak bola lebih banyak daripada hari kemarin. Karena terlalu banyak, Aku memilih bermain bersama anak-anak desa bersama Ari dan Gunung untuk melawan teman-teman SMA N 3 Semarang. Walau Aku kalah dan tidak mencetak gol seperti hari kemarin, Aku tetap merasa senang karena saya berhasil melewati beberapa rekan dan kakak kelas sendiri serta mampu bekerja sama dengan anak-anak desa. Selain itu, Aku juga berhasil melakukan beberapa umpan akurat yang membantu rekan satu tim mencetak gol. Selama permainan, dari timku hanyalah Gunung yang ambisius dan ribut. Beberapa kali dia mengejek dan mengumpati anak-anak desa itu karena tidak mengoper bola padanya. ”Cuk, umpan kiwa kene lho! Pengen menang gag, Cuk! Kakeane!”
Sepulang dari lapangan, sepanjang perjalanan Aku mendengar ceramah yang mengingatkan akan banyaknya dosaku. (Hesyeh). Isi pokok dari ceramah itu adalah tentang Allah SWT akan dekat pada hambanya yang selalu mendekatkan diri padanya. Umur panjang hanya akan menjadi beban kelak di sana bagi orang yang hanya menghabiskan waktu hidupnya di dunia dengan hal-hal maksiat dan tak jelas. Astaghfirullah! Apa saja yang telah kulakukan selama ini?
Hari ini pula tak luput dari pengalaman yang menyakitkan. Saat pagi hari Aku diminta Pak Kadi memanjat pohon cengkeh yang ada di depan rumahnya. Kukira Aku diminta memanen daun cengkehnya. Ternyata, Pak Kadi memintaku memanjat pohon cengkeh itu hanya untuk diambil gambarnya. Nah, saat aku panjat tangganya tiba-tiba tangganya retak dan patah! Aku terjatuh. Gilanya lagi, saat terjatuh kakiku juga sempat tergores di paku yang tertancap di anak tangga.
Memang sepertinya malam terakhir ini menyisakan banyak kenangan. Hal mengganjal lain yang terjadi adalah saat Aku dan Gunung pergi ke masjid untuk menunaikan ibadah salat maghrib berjamaah. Saat kami hendak berwudhu, keran air tiba-tiba mati.
Karena ada masjid yang berhadapan dengan masjid di mana kami akan salat, maka kami menuju ke masjid itu untuk numpang wudhu. Orang-orang yang melihat kami sepertinya heran karena melihat kami hanya wudhu di masjid itu kemudian solat di masjid seberang. Memang di Desa Pakisan ini terdapat banyak masjid dan mushola yang saling berdekatan.
Seusai solat, Aku menemani Alvin dan Bilal menemui Pak Rosikin untuk mengambil kembali deck yang disita. Sebenarnya Pak Rosikin tak ingin mengembalikannya karena dia telah memberikan deck sitaan itu kepada anak tuan rumah di mana Pak Rosikin menumpang tinggal. Untung saja anaknya baik hati dan mau memberikan kembali deck milik Billal dan Alvin tanpa banyak cingcong.
Di malam terakhir ini pula, ada kejutan besar dari warga Desa Pakisan. Malam itu ada acara perpisahan dengan hiburan dangdutan. Di acara dangdutan itu, sebenarnya Aku merasa takut karena semakin lama musik berdendang orang yang bergoyang makin menggila. Yang lebih gila, temanku Binowo mengajak kami ikut bergoyang. Hanya Heri dan Ari yang ikut bergoyang bersama warga Desa Pakisan. Namun, ada yang lebih gila. The Great Kelly tiba-tiba menggelar sarungnya dan melakukan aksi breakdance. Musik dangdut kok dipake pengiring Breakdance sih Mas? Sebenarnya setiap murid dan orang tua asuhnya diminta untuk hadir di acara perpisahan itu. Namun, karena lelah Pak Kadi memilih untuk tidak hadir. Aku dapat memakluminya. Seusai acara Aku dan Abie pulang dan meringkasi barang-barang kami agar tidak ada yang tertinggal kemudian tidur.

Live In Diary 2nd Day

16 Maret 2009

Pukul 04.30 kami berdua sudah bangun dan menuju masjid untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Sepulang dari masjid serasa pulang di rumah sendiri. Ibu sangat perhatian. Begitu pulang, sudah ada cokalt hangat dan cemilan lain. Kata Ibu, cokla tersebut merupakan hasil kebun sendiri. Udah gitu, dipersilakan nonton televisi lagi. Baik gag tuh? Kami berdua nonton Sport7 hingga usai.
Setelah puas, kami berdua menanyakan kepada Bapak, kapan kami bisa mulai ikut bekerja. Ternyata, kami tak diperbolehkan. Kami diminta Bapak untuk bekerja di pabrik minyak cengkeh saja bersama Mas Madhan. Mas Madhan mempunyai seorang asisten yaitu Mas Taufik.
Kami mengunakan truk pribadi untuk menuju ke pabrik. Selama peralanan, kami berempat berbincang-bincang tentang sekolahku dan Abie. Ternyata, gag di sekolah, gag di tempat Live In, semuanya mesum. Tanya-tanya cewe melulu dan guyonan mesum gag jelas. Untung si Redi dan Gunung gag gabung sekalian. Kacau! Mesum Bersatu?
Setibanya di pabrik, kami turun mengecek persediaan daun cengkeh. Karena stok tipis, kami pergi menuju ke tempat penadah daun cengkeh. Pak Sukadi memperkerjakan dua belas orang pengumpul daun cengkeh kering di kebunnya. Jadi, Mas Madhan tak perlu memanen sendiri daun cengkehnya. Tinggal mengambil di penadah. Hari itu kami mengunjungi empat orang penadah. Menurut Mas Madhan, diperlukan dana sekitar Rp 400.000,00 untuk memnuhi truk dengan daun cengkeh kering. Dana itu sudah termasuk dana makan dan solar. Sementara setalah diolah, daun cengkeh satu truk bisa menjadi 15 kg minyak cengkeh yang kemudian dijual dengan harga Rp 60.000,00 per kg. Minyak cengkeh itu didistribusikan ke daerah Surabaya dan sekitarnya. Menurut Mas Madhan, keuntungan yang diperoleh sekitar Rp 250.000,00 tiap harinya. Lelah juga kerja seharian mengisi truk dengan daun cengkeh kering. Karena sudah lelah, kami ijin tidak ikut proses pengolahan daun menjadi minyak.
Tutur Bapak, butuh waktu sekitar tujuh hingga delapan jam untuk proses pembuatan minyak cengkeh itu. Menurut beliau juga, dibutuhkan modal Rp 25.000.000,00 untuk mendirikan pabrik pengolahan minyak itu dahulu. Di pabrik pengolahan tersebut, Pak Sukadi mempunyai tiga buah tungku penyulingan raksasa. Subhanallah! Di desa ada yang sampai sesukses ini!
Lelah bekerja kami berdua makan siang di rumah. Berlaukkan ikan goreng dan sayur sawi kami berdua kenyang. Menu yang disajikan Ibu selalu tak pernah mengecewakan kami. Setelah makan kami mencuci dan mengeringkan sendiri peralatan makan kami. Selain itu, kami juga tak hanya bersantai-santai di sana. Kami juga membantu pekerjaan rumah seperti menyapu.
Saat akan membuang sampah hasil menyapu, Aku bingung. Tak ada tempat sampah di sana. Tutur Ibu, sampah biasanya langsung dibakar.
Seusai makan siang, kami berdua menuju masjid untuk melaksanakan solat duhur berjamaah. Selanjutnya, Aku dan Gunung mampir ke rumah Heri untuk silaturahmi. Di sana Aku dan Gunung disuguhi sepiring pohong goreng. Alhamdulillah. Seperti biasa, jika kami kumpul selalu berduel. Aku duel melawan Gunung. Sial! Di tengah serunya duel, Pak Ikhwan datang. Hampir saja deck milik kami disita. Sebelumnya, deck milik teman kami Alvin dan Billal juga disita Pak Rosikin setelah kepergok duel di mushola. Untungnya, Aku berhasil mengalihkan perhatian Pak Ikhwan dengan cerita mengenai rumah orang tua asuhku. Pak Ikhwan lupa dengan duel kami. Deck kamipun selamat. Huh!
Sore harinya , sekitar pukul 14.30, Aku, Heri dan Gunung mengumpulkan personil untuk bermain sepak bola. Di lapangan, The Chalenggers ternyata sudah ada. Kami bermain selama satu jam lebih. Melawan 18 pemain dengan 9 pemain di lapangan berlumpur ternyata tak semudah yang kami bayangkan. Walaupun 18 anak itu notabene anak SD, skill mereka berada di atas rata-rata untuk ukuran anak seusia itu. Kami hampir saja dipermalukan 3-0. Untung, kami cepat beradaptasi den pulang dengan kemenangan dramatis 5-4. Lumayan, sore itu kucetak satu gol saat kami tertinggal 2-3. Seusai bertanding, kami berfoto bersama squad junior Desa Pakisan itu. Pulang pukul 16.00 dengan keadaan kotor dan belum solat asar, Aku dan Abie datang terlambat ke acara sharing.
Malam harinya, Aku dan Abie berbincang-bincang bersama Bapak dan Ibu Sukadi. Bapak dan Ibu bercerita mengenai kebun dan sawah mereka. Tutur mereka, persediaan pangan mereka selau lebih dari cukup. Bapak dan Ibu tak pernah belanja untuk memnuhi kebutuhan pangan mereka. Bahkan, mereka punya lemari penyimpanan padi dan jagung yang dapat menjamin kebutuhan pangan keluarga hingga tiga bulan ke depan. Setelah merasa cukup mengantuk, Aku pamit untuk tidur. Selama berbincang-bincang dengan Bapak dan Ibu , Abie hanya diam. Dia diam karena menurutnya, dia tidak dapat berbicara menggunkan Bahasa Jawa yang baik dan benar.

My Live In Diary 1st day

15 Maret 2009
Pagi itu pukul 06.15. Aku sudah berangkat menuju ke sekolah diantar bapakku. Sesampainya di sekolah, upacara persiapan keberangkatan dilaksanakan. Namun, Aku, Ari, Gunung duduk menunggu di dalam bus tidak mengikuti upacara. Aku berduel kartu Yugi Oh melawan Ari dan Gunung. Di dua duel itu pula deck milikku tumbang.
Sekitar pukul 07.15 bus berangkat meninggalkan sekolah. Perjalanan menuju tempat tujuan selama dua jam diisi dengan menyanyikan lagu-lagu anime sebangsa digimon, doraemon, crayon shinchan dkk. Bus yang kami naiki bisa dibilang eksklusif. Ber-AC, Jon!
Sebelum ke tempat tujuan, bus mampir ke kantor kecamatan Patean untuk mendengarkan pidato sambutan dari Pak Camat. Kami tiba di kantor Kecamatan pada pukul 11.45. Sayangnya kami harus menunggu lama. Pak Camat datang terlambat. Diduga Pak Camat nonton Naruto sehingga beliau datang terlambat ke upacara sambutan. Hhe. Seperti sebelumnya, saat upacara dimulaipun Aku dan Gunung tidak mengikuti upacara sambutan dari Pak Camat. Lagi-lagi kami berduel di dalam bus. Dendamku terbalaskan. Kali ini deck milik Gunung tumbang dengan cepat. Setelah lelah berduel, kami berdua makan di sebuah warteg yang terletak tak jauh dari tempat parkir bus. Perjalanan kembali dilanjutkan seusai upacara.
Pada pukul 11.30 bus kami sudah tiba di Kantor Desa Pakisan. Di desa tersebut, kelasku tinggal bersam kelas Sepuluh-Akselerasi dan Sebelas-Susulan.
Begitu sambutan Kepala Desa Pakisan usai, kami langsung dipertemukan dengan orang tua asuh kami. Aku tinggal bersama murid kelas sepuluh akselerasi yaitu Abie. Kami tinggal bersama Bapak Sukadi yang tak lain tak bukan adalah ayah dari Pak Kades Pakisan. Bapak Sukadi lahir pada tahun 1952. Bermodalkan lulus SD, beliau terhitung sebagai orang yang sukses. Bapak Sukadi memiliki 3 rumah, satu hektar sawah, sebuah kebun jambu dan sebuah pabrik pengolahan minyak cengkeh. Bapak Sukadi berpenghasilan rata-rata empat puluh juta rupiah setiap tiga bulan. Bapak Sukadi memiliki dua irang putra. Putra Sulungnya merupakan Kades Pakisan yaitu Bapak ... dan anak bungsunya bernama Madhan yang berkeja di pabrik pengolahan minyak cengkeh. Di rumahnya, Pak Sukadi tinggal bersama istrinya dan anak bungsunya. Sepertinya, live in kali ini tak akan terasa sulit.
Kami berjalan sejauh 1km jalan menanjak untuk menuju ke kediaman Bapak Sukadi. Desa Pakisan terletak di daerah dataran tinggi. Perjalanan terasa berat dan melelahkan, sepanjang 1km jalan menanjak ditambah membawa tas maha berat. Sebenarnya Bapak Sukadi menawarkan dirinya untuk membantu kami, namun kami menolaknya.
Begitu sampai di rumah, seisi rumah menyambut kami dengan ramah. Dugaanku tentang live in ini tak akan sulit sepertinya benar adanya. Rumah tempat tinggal Bapak Sukadi sudah dikeramik. Bangunannya baik dan lebih dari cukup bagiku. Sudah ada televisi, sepeda motor, mobil, dan truk Banyak kesan positif yang timbul di awal kedatanganku.
Kesan negatif pertama yang muncul dariku adalah ketika Aku akan mandi. Gila! Kamar mandinya tanpa pintu! Sepertinya gag perlu kuceritain panjang lebar deh. Takutnya menimbulkan pikiran yang kotor, aneh, dan nggak-nggak. Kesan negatif kedua yaitu kamarnya gelap, Cuk! Tanpa lampu, tanpa jendela! Gimana Aku bisa nulis diary di kegelapan? Sore hari, Aku berkumpul bersama teman-teman di sebuah mushola kecil untuk sharing. Hari ini diakhiri dengan terpejamnya matakau saat jam menunjukkan pukul 21.30.